Minggu, 25 Desember 2011

Grafiti Tiga Dimensi


Céfiné, begitulah tagging yang tertera pada kebanyakan grafiti buah karya Ricky Yanuardi. Tapi terkadang ia juga hanya membubuhkan kata “FINE” di sisi bawah atau di samping karya seni semprotnya itu.

Penorehan "tagging" atau “signature” menjadi “ritual” yang tak pernah dilupakan para bomber. Pembubuhan tagging bertujuan agar eksistensi sang bomber semakin diakui. Semakin banyak tagging berarti bakal semakin terkenal pula pembuatnya di kalangan para bomber. Hal itu bisa dimaklumi karena banyaknya tagging juga menandakan bahwa si pemilik tagging adalah orang yang “produktif”. Sign yang dibuat oleh bomber itu sekaligus menjadi semacam tanggung jawab atas karya yang telah dihasilkan.

Dulu, tagging dimanifestasikan sebagai bentuk tulisan atau coretan yang bertujuan menarik perhatian. Isi coretan yang disampaikan pun umumnya hanya berupa nama diri atau kelompok. Tapi kini pemakaian tagging seperti itu sudah ditinggalkan. Pembubuhan tagging sekarang lebih diasumsikan sebagai tanda tangan. Para bomber saat ini sudah memiliki komitmen bahwa tagging hanyalah semacam tanda tangan yang menjadi pelengkap sebuah grafiti dan baru dibubuhkan di akhir pembuatan grafiti itu sendiri.

Ricky mengaku mulai fokus pada grafiti dan pewarnaan dengan cat semprot sejak tahun 2004. Skill membuat grafiti ia peroleh secara otodidak. Bakatnya dalam menyemprotkan piloks ke tembok-tembok pun makin “terasah” oleh pengalamannya bergaul dengan sesama pecinta grafiti. Pada jenis street art inilah Ricky menemukan kebebasan untuk mengejawantahkan dorongan seni dari dalam jiwanya sekaligus mereguk selaksa kepuasan. “Bagi gue, grafiti itu passion dan euphoria. Grafiti menjadi bagian dari perjalanan hidup gue dalam aspek seni dan desain,” tutur lelaki kelahiran Jakarta, 1 januari 1983, ini.

Proses Kreatif Ala Ricky

Banyak sudah grafiti yang lahir dari tangan Ricky. Jumlahnya sudah mencapai ratusan. Grafiti-grafiti buatannya itu ia tampilkan dalam sebuah blog: www.cefine.blogspot.com. Dalam blog-nya itu, kita bisa melihat media apa saja yang pernah dijadikan sebagai “korban” kreativitas Ricky. Selain pada tembok-tembok rumah, gudang, gedung, toilet umum, rolling door toko, dan tembok yang ada di pinggir jalan, Ricky juga pernah melampiaskan “nafsu seninya” ke sebuah mobil van dan bajaj.

Tapi, dari sekian banyak media yang pernah menjadi sasaran piloks-piloksnya tadi, Ricky paling menyukai media tembok. “Yang pasti tembok. Entah itu letaknya di mana. Kalau bisa, yang environment-nya bagus,” tandas bomber yang dulu kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual Interstudi angkatan 2003 ini.

Menjadi bomber, selain memiliki daya kreativitas yang tinggi, juga harus bernyali besar. Maklum, kreativitas mereka kerap menuai masalah, misalnya dengan pihak keamanan. Tapi, masalah seperti itu bagi Ricky bukanlah hal baru. “Pernah suatu kali gue dan teman-teman didatangi satuan polisi pamong praja yang terkadang hanya iseng. Lokasi pada saat itu adalah lokasi di mana kami pernah membuat grafiti satu tahun sebelumnya. Mereka datang dan beradu argumen dengan kami. Sampai akhirnya perwakilan kami, termasuk gue, harus stay di kantor Wali Kota sampai pagi untuk mengurusi masalah ini. Tapi sebenarnya sudah banyak kejadian lain yang terkesan sudah biasa bagi kami,” tutur seniman yang tinggal di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ini.

Cara kerja para bomber biasanya unik. Sistem manajemennya pun bisa dibilang tertib. Umumnya mereka "bekerja" pada malam hari. Mereka memiliki perencanaan dan membagi-bagikan tugas sampai ke hal-hal yang sangat kecil, misalnya harus lari ke mana jika aksi mereka ketahuan aparat keamanan.

Sebelum membuat grafiti atau mural, biasanya sang bomber terlebih dulu membuat sketsa gambar atau tulisan di buku gambar. Setelah sketsa siap, barulah bomber merencanakan warna yang akan digunakan. Begitu juga Ricky. Sebelum menggambar di dinding, ia hanya membuat sketsa saja. Setelah itu barulah dia berkreasi dengan gaya huruf dan warna-warna kesukaannya. “Kalau untuk session biasa, nggak ada yang spesial, hanya membuat sketch saja dulu. Berbeda halnya dengan proyek komersil yang membutuhkan konsep, sketsa, juga asistensi. Semua disesuaikan dengan kebutuhan,” kata bomber yang mengaku hanya bisa beraksi pada Sabtu malam atau Minggu malam ini.

Ihwal lamanya pengerjaan satu buah grafiti biasa atau yang standar, Ricky mengaku membutuhkan waktu kira-kira tiga hingga lima jam. Tapi waktu tersebut bisa molor jika gambarnya rumit dan memiliki banyak detail. “Ada juga yang harus dikerjakan selama seharian penuh, bahkan sampai satu minggu penuh. Grafiti yang pembuatannya butuh waktu tiga hari juga banyak,” paparnya.

Modal yang dibutuhkan Ricky untuk sekali beraksi lumayan besar. “Sekitar Rp 100-500 ribu, tergantung kebutuhannya dan bahan yang gue punya. Biasanya juga masih ada sisa dari commercial project sebelumnya,” ujarnya.

Dalam beraksi, seorang bomber biasanya dibantu oleh rekan satu tim yang disebut kru. Untuk mengerjakan sebuah project, bomber dan para kru biasanya berpatungan untuk membeli cat tembok dan piloks. Sebelum beraksi, Tapi ada juga bomber yang di waktu-waktu tertentu hanya beraksi sendirian. Ricky pun mengaku sering beraksi sendirian. “Kalau lagi mau project sendiri, ya gue jalan sendiri, membuat gambar sendiri sampai selesai. Paling-paling ditemani pacar. Tapi kalau lagi bareng, ya kami jalan bareng, janjian, biasanya sekalian ketemu dengan teman-teman. Saat ada event maupun project komersil, kami juga sering bareng,” katanya.

Seperti bomber-bomber lainnya, Ricky juga mempunyai komunitas, yaitu Artcoholic. Ricky bergabung dengan komunitas yang terkenal doyan menghias dinding kota dengan mural, grafiti, serta airbrush itu sejak tahun 2003. Selain dengan Artcoholic, Ricky tentunya juga sangat mengenal komunitas yang bernama Tembok Bomber, yaitu komunitas pelaku street art yang pada tahun 2004 melengkapi diri dengan sebuah situs bernama tembokbomber.com. “Semua pecinta grafiti di Indonesia sebenarnya tergabung dalam tembokbomber.com. Semua anggotanya berteman dengan para founder tembokbomber.com sejak awal mula berdiri,” kata Ricky menambahkan.

Grafiti Tiga Dimensi

Grafiti yang digemari Ricky adalah yang tiga dimensi. Grafiti jenis ini cenderung mengandalkan kolaborasi warna. Bentuk huruf-hurufnya tampak sangat jelas, timbul, dan hidup. Kolaborasi warna pada grafiti tiga dimensi biasanya sangat kontras dan menyala. Garis-garis yang ditampikan pun sangat rapi dan gambar yang disuguhkan sangat padat. Tak mengherankan bila banyak orang menganggap grafiti tiga dimensi adalah grafiti yang sangat indah dan paling susah dibuat dibanding jenis lainnya.

Selama berkecimpung di dunia seni grafiti, sudah banyak project atau event yang diikuti Ricky. Salah satu project yang tak bisa ia lupakan adalah project komersil untuk Sampoerna A Mild pada tahun 2005 di Sidoarjo. “Waktu itu, gue berdelapan dengan teman-teman sesama bomber membuat suatu project komersil sepanjang 200 meter. Mungkin saat itu hanya kami yang membuat project grafiti terbesar, baik dari sisi finansial maupun dari bentuk grafitinya sendiri. Lalu, bulan Agustus 2008 kemarin, gue juga cukup puas dengan grafiti yang gue buat di kolong jembatan Senayan. Gue bikin sendirian full di satu pilar,” tuturnya.

Meskipun sudah menelurkan ratusan karya, baik berupa grafiti ataupun mural, sebenarnya masih banyak keinginan serta harapan yang belum dicapai Ricky, mulai dari keinginan membuat grafiti di tempat yang paling “seksi” hingga dukungan dari pemerintah terhadap perkembangan seni grafiti itu sendiri. “Tapi gue pikir biarlah grafiti mengalir apa adanya. Yang pasti, gue berharap grafiti bisa lebih diperhatikan oleh banyak pihak dan menjadi salah satu bidang yang bisa lebih menjanjikan dalam hal finansial,” tutur Ricky sambil menutup sesi wawancara. Oke Ricky, jangan berhenti berkarya, Bro!!

0 komentar:

Posting Komentar

Netpreneur Blog Indonesia

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More