Anda sering melihat graffiti atau mural yang ada di dinding bawah fly over perempatan Kuningan Jakarta Selatan? Mungkin hanya sedikit orang yang tahu bahwa pembuatan graffiti dan mural di perempatan Kuningan itu difasilitasi oleh Dinas Pertamanan setempat. Street art yang dibuat oleh belasan bomber---sebutan bagi pembuat graffiti-itu dibuat pada 20-23 Desember 2006 dengan mengusung tema Re-Solusi Jakarta 300 cc. Tema tersebut diangkat sebagai respons sekelompok seniman jalanan terhadap buruknya kondisi sosial dan lingkungan di Jakarta. Kesempatan itu juga dijadikan sebagai kado akhir tahun dari para street artist kepada Kota Jakarta.
Tulisan dan gambar pada pilar-pilar di perempatan Kuningan ini bukanlah asal bikin. Sebab, sebelum "beraksi", para bomber terlebih dahulu menjalani diskusi serta brainstorming yang cukup panjang. Lihat saja mural berjudul "Taman Kota" yang menampilkan dua anak kecil yang saling berangkulan di antara gedung-gedung, seakan-akan mereka tengah kebingungan ke mana mencari taman untuk sekadar bermain. Atau graffiti bertuliskan "Boneka! Metropolis" yang mudah diinterprestasikan sebagai bentuk kritik terhadap para penguasa yang gemar mempermainkan orang. Sebab, di atas tulisan yang dibuat dengan cat semprot tadi ada citraan beberapa sosok orang yang dikondisikan seperti boneka lengkap dengan tali penariknya.
Istilah graffiti sendiri diambil dari bahasa latin "graphium" yang artinya "menulis". Awalnya, istilah ini dipakai oleh para arkeolog untuk mendefinisikan tulisan-tulisan pada bangunan kuno bangsa Mesir dan Romawi kuno. Kegiatan graffiti sebagai sarana menunjukkan ketidakpuasan baru dimulai pada zaman Romawi dengan bukti adanya lukisan sindiran terhadap pemerintahan di dinding-dinding bangunan. Lukisan ini ditemukan di reruntuhan Kota Pompeii. Sementara di Roma sendiri graffiti dipakai sebagai alat propaganda untuk mendiskreditkan pemeluk agama Kristen yang pada zaman itu dilarang kaisar.
Pemakaian cat semprot atau spray paint untuk graffiti mulai dikenal di New York pada akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang laki-laki bernama Taki yang menetap di 183rd Street Washington Heights selalu menuliskan namanya-tagging--di setiap tempat yang ia anggap bakal dilihat banyak orang, misalnya di dalam kereta subway atau di bagian luar dan dalam bis. "Taki183", begitulah tulisan yang ia buat.
Lewat coretan anehnya itu, orang-orang di seluruh kota mengenal Taki. Di tahun 1971, Taki diinterviu oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah nama Taki populer di seluruh New York. Fenomena Taki ini akhirnya mempengaruhi mental anak-anak di New York. Mereka menganggap kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas diri pada bus atau kereta yang melewati seluruh kota. Semakin banyak namanya tercantum, sudah pasti dianggap semakin populer.
Sedangkan kata "mural" berasal dari bahasa Latin "murus" yang berarti dinding. Mural sebenarnya ada sejak ratusan ribu tahun silam. Orang primitif membuatnya di dinding-dinding gua sebagai sarana mistisme dan spiritual untuk membangkitkan semangat berburu.
Kegiatan membuat mural kemudian berlanjut ke masyarakat Mesir Kuno. Kala itu, mural menjadi sarana komunikasi. Hingga akhirnya masyarakat modern membuat mural pada dinding rumah, gedung, gereja, serta tanah beraspal atau berbatu bata, bahkan pada makam bawah tanah (katakomba).
Sementara di Indonesia baru beberapa tahun belakangan ini graffiti mulai mendapat apresiasi sebagai karya seni. Tercatat, telah banyak festival bertema "urban art" digelar dengan tujuan mewadahi seniman graffiti agar dapat lebih bebas berapresiasi dan dihargai. Mereka yang menyukai seni menggambar jalanan ini biasanya berkumpul dalam sebuah wadah atau komunitas tertentu. Tiga komunitas besar yang cukup terkenal di Indonesia antara lain Tembok Bomber, Royal Consortium, dan Vektorjunkie.
Suasana dan situasi yang dirasakan para bomber di Yogyakarta mungkin bisa dibilang lebih nyaman. Sebab, di sana mural tidak lagi dianggap sebagai hasil karya yang jelek. Bahkan mural di Yogyakarta tidak lagi dimonopoli para seniman, tapi juga masyarakat biasa. Mereka membuat mural di pinggir-pinggir jalan lingkup RT maupun jalan masuk gang. Bahkan mural di Yogyakarta hampir mirip gerakan massal.
Bagaimana dengan Jakarta? Hmm, street art di perempatan perempatan Kuningan--dan mungkin tempat lainnya--bisa dijadikan sebagai bahan renungan. Sebenarnya lebih enak melihat iklan yang mulai membosankan di kanan kiri jalan atau melihat graffiti/mural yang sering membuat dahi kita berkernyit saat mencoba menebak pesan yang ingin disampaikan? Terserah Anda....
0 komentar:
Posting Komentar